(Aku terlalu jengah dengan senyummu)


Buka mata lebar-lebar
Aku tak mau bergeser
Hanya menanti senyuman itu
tersungging selamanya
Di sudut bibirmu
Sampai kau menua
Dan lelap dalam buaian baka
Sampai aku tak lagi peduli
Mana yang milikku
Mana yang sudah direnggut dariku
Hanya saja senyum itu,
Untukku saja, tidak yang lain
Aku tidak memohon.
Aku sedang memaksa
(Aku terlalu jengah dengan senyummu)

Siapa Waras?!


Aku menuangkan cangkir
Mengisi air


Aku menghirup roti
Menggigit kopi


Aku menyeruput di telinga cangkirku
Tanganku menggenggam tepi cangkirku


Jangan menyerah!
Apalagi membantah sajak ini
Hei kau yang masih terbata di baris pertama!
Bacalah sekali lagi!
Lagi!?
Bacalah berulang kali!
Sudah?!
Jadi siapakah yang kau temukan dalamnya?
Kau atau aku???
Siapa yang waras, 
akan menemukannya dirinya sama dengan sajak ini.


Salatiga
Sambil menunggu berangkat gereja.

Matahari, Bulan, Bintang (I)



Matahari dipingit malu-malu dalam senja.
Kau tahu seperti apa?
Matahari malu-malu.
Benar malu-malu.
Lihat ia memerah.
Merona menghias langit senja.


Tak lama pengantin datang lewat malam.
Siapakah yang akan Matahari pilih?


Ia cinta kepada Bulan,
Tapi cinta tak hanya perkara memiliki.
Memiliki juga tidak harus mengawini, pikirnya.
Ras berbeda apa benar sulit dipersatukan?”
Matahari akan menunjuk sebuah Bintang menjadi pasangannya.
Bintang mana yang dapat menolak pesonanya?
Satupun tidak!


Syarat yang sama setiap malam
kepada Bintang yang menjadi pasangannya.
~”Setialah kepadaku!”pinta Matahari.


Di tengah malam yang pekat.
Setelah mereka merayakan pesta perkawinan.
Matahari dan Bintang bercinta dengan khusyuk.
Ditingkahi lafas, nafas, dan desah para makhluk di bumi.


Bintang tak bisa ingkar.
Ia selalu setia kepada Matahari.
Petik waktu yang entah tepatnya kapan.
Lagi mereka sedang asik bercinta.
Bintang lebur dihisap Matahari.
Begitulah ia (Matahari) memulihkan energinya.
Begitulah ia senantiasa tetap bercahaya.
Dengan mengumpulkan cahaya Bintang setiap malam.


Tapi cinta Bintang yang setia tak pernah sia-sia.
Selalu ada buah cinta setiap paginya.
Ialah yang dikandung berselubung malam.
Begitu superior dari induk yang kuat dan setia.


Lahirlah ia bersama alam
yang berdiri lewat subuh.
Ialah yang lahir selalu di timur.
Demikianlah ia kuat menerangi
Dan memberi kehangatan bagi semesta, bagi bumi
(Kuatnya bukankah mengingatkanmu pada Matahari?)
Ialah yang selalu berjalan dan mengacuhkan satu tujuan yakni barat.
Demikianlah ia setia tak pernah melenceng jalannya.
(Setianya bukankah mengingatkanmu pada Bintang?)


Ia jualah Matahari
Ia jualah Bintang terbesar
Ialah buah cinta itu.
Ialah yang pasti lahir setiap hari.
Ialah harapan!
 
Salatiga.

Aku Tertawa Bersama Pemantikmu


Di padang kembara tak bertuan/
Kau tumpuk segunduk kayu bakar penghancur masa lalu/
Berulang kau bergumam sumpah serapah/
sambil memantik korek/

Aku menyimak/
Setengah berlari di antara ilalang dan kerikil/
Tepat kudapati pundakmu dalam telapak tanganku/

Tegar/
Kau!!/
Tak bergetar apalagi gentar/
Kau tak peduli atau tak bisa rasakan
sentuhanku beradu dengan tubuhmu?/

Entah/
Entah mengapa beraninya-
seorang sepertimu-mengacuhkanku/

Sejurus kemudian aku tertawa terbahak-bahak/
Harap kau jengah dan menatapku/
Apimu tak kunjung nyala/
Kepada apakah kau ingin
masa lalu itu terbakar?
Kepada siapakah kau ingin katakan
masa lalu itu lenyap di tumpukan kayu bakar
yang tak  kunjung merah?/

Aku pun bukan orangnya!/
Pemantiknya saja menertawakanmu!!/
Membaca maya dan sedikit pukau tipumu/
Aku tak akan lama terjebak/
bahkan tak akan pernah terjebak, karenamu/
karena masa lalu yang pura-pura kau lenyapkan/
Aku tertawa bersama pemantikmu//